PEMBELAJARAN FISIKA
DENGAN
PENDEKATAN SETS
Teknologi
Lingkungan
Masyarakat
Sains
Diajukan sebagai Karya Inovasi Pembelajaran untuk Meningkatkan
Kepedulian Terhadap Lingkungan dalam Rangka Lomba
Guru Kreatif Jawa Tengah & DIY
2004
Oleh
Drs. Pristiadi Utomo, M.Pd.
NIP. 132117607
BAB I
PENDAHULUAN
Kata SETS (Science Environment Technology and Society) dapat dimaknakan sebagai sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat, merupakan satu kesatuan yang dalam konsep pendidikan mempunyai implementasi agar anak didik mempunyai kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Pendidikan SETS dapat diawali dengan konsep-konsep yang sederhana yang terdapat di lingkungan sekitar kehidupan sehari-hari peserta didik atau konsep-konsep rumit sains maupun non sains.
Keprihatinan akan masa depan bumi membawa perhatian sebagian besar negara-negara maju maupun berkembang untuk lebih peduli menyelamatkan bumi dari kerusakan, polusi, menipisnya ozon, efek rumah kaca, berkurangnya deposit bahan tambang organik, dan banyak hal lain tentang kecemasan terhadap bumi di masa datang. Rumor ‘one earth for all’ seringkali didengungkan dalam lokakarya, semiloka, dan sejenisnya baik tingkat nasional, regional maupun internasional. Indikasi tersebut diikuti dengan antisipasi penyampaian ‘warta’ yang terjadi dan pencegahan-pencegahan, salah satunya melalui cara pendidikan berwawasan SETS.
I.1. Konsep Pendidikan SETS
Sejarah membuktikan bahwa kehidupan di masa lalu beserta pendidikan generasi mudanya sama sekali tidak memperhatikan lingkungan sekitar. Setiap produk yang dihasilkan baik teknologi maupun sumber daya manusianya berlomba-lomba untuk mengeksplorasi kekayaan bumi tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan di masa yang akan datang. Setelah berbagai masalah dalam kehidupan yang disebabkan oleh kerusakan bumi begitu menggejala, barulah sebagian negara, beberapa lembaga swadaya masyarakat dan aktivis pecinta lingkungan hidup bersuara.
Sejak itulah dalam dunia pendidikan mulai diintegrasikan pendidikan berwawasan lingkungan, misalnya Pendidikan bervisi STS (Science Technology Society) berarti pendidikan bervisi Sains Teknologi dan Masyarakat, Pendidikan bervisi EE (Environmental Education) berarti pendidikan lingkungan hidup, pendidikan STL (Sciencetific and Technological Literacy) artinya pendidikan berwawasan Sains dan merujuk Teknologi. Beberapa waktu berlalu belum menampakkan hasil optimal dari pengintegrasian visi-visi tersebut dalam pendidikan. Untuk itulah perlu dikembangkan pendidikan bervisi SETS sebagai satu kesatuan Sains, Lingkungan, Teknologi dan Masyarakat yang tidak boleh dipisahkan.
Disadari bahwa ketergantungan terhadap produk alam untuk keperluan kehidupan sehari-hari masih cukup tinggi. Sehingga tingkat kekayaan alam yang relatif berkurang dibandingkan dengan jumlah manusia yang membutuhkan, semakin memberi dukungan terhadap aplikasi pendidikan bervisi SETS.
Hakekat SETS dalam pendidikan merefleksikan bagaimana harus melakukan dan apa saja yang bisa dijangkau oleh pendidikan SETS. Pendidikan SETS harus mampu membuat peserta didik yang mempelajarinya baik siswa maupun warga masyarakat benar-benar mengerti hubungan tiap-tiap elemen dalam SETS. Hubungan yang tidak terpisahkan antara sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat merupakan hubungan timbal balik dua arah yang dapat dikaji manfaat-manfaat maupun kerugian-kerugian yang dihasilkan. Pada akhirnya peserta didik mampu menjawab dan mengatasi setiap problem yang berkaitan dengan kekayaan bumi maupun isu-isu sosial serta isu-isu global, hingga pada akhirnya bermuara menyelamatkan bumi.
Keberhasilan Pendidikan SETS dengan kedalaman yang memadai sangat relevan untuk memecahkan problem yang melanda kehidupan sehari-hari. Misalnya masalah pencemaran, pengangguran, bencana alam, kerusuhan sosial dan lain-lainnya. Isu-isu tersebut dapat dibawa ke dalam kelas dan dikaji melalui pendidikan SETS untuk dicarikan pemecahannya, paling tidak pencegahannya.
Pendidikan SETS pada hakekatnya akan membimbing peserta didik untuk berpikir global dan bertindak lokal maupun global dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi sehari-hari. Masalah-masalah yang berada di masyarakat dibawa ke dalam kelas untuk dicari pemecahannya menggunakan pendidikan SETS secara terpadu dalam hubungan timbal balik antar elemen-elemen sains, lingkungan, teknologi, masyarakat.
Peserta didik dilatih agar mampu berpikir secara global dalam memecahkan masalah lokal, nasional maupun internasional sesuai dengan kadar kemampuan berpikir dan bernalarnya. Peserta didik dibimbing untuk memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah di masyarakat dan berperan aktif untuk turut mencari pemecahannya.
Pendidikan SETS ini dapat mengatasi kelemahan sistem pendidikan klasik dimana peserta didik diajak melaju untuk menyelesaikan materi pelajaran, tanpa diketahui dengan jelas implementasi peserta didik terhadap daya serap materi pelajaran (Apakah materi pelajaran dapat dikuasai keseluruhan atau sebagian, dan kompetensi dasar apa yang sudah dicapai). Sehingga Pendidikan SETS dapat mengantisipasi beberapa hal pokok dalam membekali peserta didik, diantaranya :
-
Menghindari ‘materi oriented’ dalam pendidikan tanpa tahu masalah-masalah di masyarakat secara lokal, nasional, maupun internasional.
-
Mempunyai bekal yang cukup bagi peserta didik untuk menyongsong era globalisasi (AFTA--2003, AFAS--2003, WTO--2010).
-
Peserta didik mampu menjawab dan mengatasi setiap masalah yang berkaitan dengan kelestarian bumi, isu-isu sosial, isu-isu global, misalnya masalah pencemaran, pengangguran, kerusuhan sosial, dampak hasil teknologi dan lain-lainnya hingga pada akhirnya bermuara menyelamatkan bumi.
-
Membekali peserta didik dengan kemampuan memecahkan masalah-masalah dengan penalaran sains, lingkungan, teknologi, sosial secara integral, baik di dalam maupun di luar kelas.
Pendidikan SETS mencakup topik maupun konsep yang berhubungan dengan sains, teknologi, lingkungan dan berbagai hal yang diperkirakan melanda masyarakat. Obyek-obyek pendidikan yang dipelajari pada akhirnya diharapkan dimengerti dengan baik korelasinya dengan keempat elemen utama SETS.
Pendidikan SETS bukan pendidikan di angan-angan atau di atas kertas saja, melainkan pendidikan SETS benar-benar membahas sesuatu yang nyata / riil, bisa dipahami, dapat dilihat dan dibahas dan bisa dipecahkan jalan keluarnya. Kurang pada tempatnya jika pembahasan SETS hanya sebatas elemen per elemen yang terpisah satu sama lain. Apabila hal itu dilakukan sama artinya dengan memfokuskan pada salah satu unsur dari SETS.
Keempat unsur pada Pendidikan SETS saling berinteraksi dalam membahas suatu konsep pendidikan baik sins maupun non sains. Untuk memenuhi kepentingan peserta didik perlu diciptakan suatu program yang sesuai dengan tingkat pendidikan peserta didik maupun warga masyarakat. Para guru diharapkan lebih berhati-hati dalam pengajarannya jika memasukkan konsep atau topik yang akan dibahas dengan teknik Pendidikan SETS. Topik tersebut harus aktual dan sesuai dengan subyek yang sedang dipelajari dan tentunya tidak bertentangan dengan kurikulum yang dibakukan. Satu hal yang paling penting, Pendidikan SETS harus dapat membawa setiap peserta didik berperan serta dalam kegiatan pembelajaran.
I.2. Tujuan Pendidikan SETS
Tujuan Pendidikan SETS adalah untuk membantu peserta didik mengetahui sains, perkembangan sains, teknologi-teknologi yang digunakannya, dan bagaimana perkembangan sains serta teknologi mempengaruhi lingkungan serta masyarakat. Pendidikan SETS berupaya memberikan pemahaman tentang peranan lingkungan terhadap sains, teknologi, masyarakat. Sebaliknya peranan masyarakat terhadap arah perkembangan sains, teknologi dan keadaan lingkungan. Termasuk juga peranan teknologi dalam penyesuaiannya dengan sains, manfaatnya terhadap masyarakat dan dampak-dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan. Tidak ketinggalan peranan sains untuk melahirkan konsep-konsep yang berdaya guna positif, keterlibatannya pada teknologi yang dipakai maupun pengaruhnya terhadap masyarakat dan lingkungan secara timbal balik.
Jadi tujuan utama Pendidikan SETS ialah bagaimana membuat agar SETS dapat menolong manusia membuat surga dunia di muka bumi ini, bukan sebaliknya menciptakan neraka dunia dalam segala aspek kehidupan. SETS sesungguhnya harus mampu menolong setiap negara di dunia untuk mewujudkan kemakmuran bagi semua warga negaranya.
Dalam memberikan pengantar Pendidikan SETS kepada peserta didik, setiap guru harus dapat menciptakan variasi pendekatan atau konsep pembelajaran yang disesuaikan tingkat kemampuan maupun obyektivitas dari pendidikan SETS itu sendiri. Perlu diingat bahwa tidak tertutup kemungkinan seorang siswa memiliki peluang lebih besar untuk mengalami sesuatu topik masalah secara lebih nyata dibanding dengan gurunya. Apabila hal itu terjadi, para guru hendaknya tidak merasa berkecil hati, justru merasa lebih tertantang dengan kondisi yang ada untuk belajar lebih keras dan mencoba mendahului kemampuan muridnya dengan tujuan positif. Jangan sampai terjadi karena muridnya diketahui lebih cepat dapat mengakses pengetahuan yang ada, seorang guru menjadi tidak suka atau antipati kepada muridnya. Segi baik lainnya adalah setiap murid secara perorangan dapat mengoptimalkan pengetahuan yang dimilikinya untuk bekerja sama dengan temannya dalam proses Pendidikan SETS. Hal ini mengandung arti murid yang bersangkutan telah belajar bagaimana bersosial masyarakat.
Bentuk korelasi hubungan timbal balik antara unsur-unsur SETS digambarkan sebagai berikut : (yang menjadi fokus perhatian adalah lingkungan).
Gambar 1. Hubungan timbal balik unsur-unsur Pendidikan SETS
Berarti sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat saling terkait dalam hubungan dua arah antara sains dengan lingkungan, teknologi, masyarakat. Antara lingkungan dengan sains, teknologi, masyarakat. Antara teknologi dengan sains, lingkungan, masyarakat. Antara masyarakat dengan sains, lingkungan, teknologi. Hubungan kesalingterkaitan dua arah antara elemen-elemen SETS menunjukkan interaksi positif maupun negatif yang menjadi dampak yang tumbuh dari perkembangan tiap-tiap elemen SETS.
Pendidikan SETS harus dapat membuat peserta didik memahami hakekat dari ‘Sains, Lingkungan, Teknologi, Masyarakat’ sebagai satu kesatuan. Maksudnya peserta didik harus selalu memperhitungkan saling keterkaitan antara elemen-elemen dalam SETS. Pendidikan SETS tidak hanya memperhatikan sains, teknologi, masyarakat tetapi juga dampak positif / negatif yang diakibatkan oleh sains dan teknologi yang dipakai oleh masyarakat pada lingkungan dan masyarakat itu sendiri.
Unsur-unsur yang dimiliki dalam Pendidikan lingkungan (EE – Environmental Education) dan Pendidikan STS (Science Technology Society) tidak selengkap Pendidikan SETS. Fokus Pendidikan SETS meliputi belajar di (in), untuk (for), tentang (about) lingkungan, dengan mencoba menemukan dan mengungkap penyebab permasalahan serta kemungkinan apa yang menimbulkan dampak pada lingkungan di masa yang akan datang. Terutama sekali dampak-dampak yang timbul akibat sains dan teknologi yang digunakan dalam usaha memenuhi kebutuhan masyarakat.
Peserta didik memahami setiap elemen dalam SETS semuanya menyatu, dan mengaplikasikan dalam proses berpikirnya dengan meninjau keterlibatan keempat elemen tersebut dari sisi positif maupun negatif. Pendidikan SETS bermaksud membawa peserta didik untuk mengkorelasikan antara sains, teknologi, lingkungan dan masyarakat. Contohnya, produk-produk teknologi yang mendukung sains. Dampak positif maupun negatif teknologi, sains terhadap masyarakat atau lingkungan. Keterlibatan masyarakat dalam pengembangan sains dan penciptaan teknologi serta perlakuannya terhadap lingkungan. kemampuan lingkungan dalam penyediaan kebutuhan masyarakat, penciptaan teknologi dan pengembangan sains. Hal-hal itulah yang dimaksudkan dalam Pendidikan SETS. Terhadap peserta didik, tentunya sebatas pada kemampuan kognitif, penalaran dan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Sehingga dalam pendidikan SETS, peserta didik benar-benar learning to know--learning to do--learning to be--learning to live together.
Berdasarkan pemikiran Pendidikan SETS kita dapat membangun generasi muda yang melihat ke depan (futuristik) ke arah peningkatan kualitas hidup setiap anggota masyarakat.
Yang perlu diperhatikan dalam membelajarkan SETS untuk major sains seperti Fisika di Sekolah Menengah adalah sebagai berikut.
-
Topik yang dipilih hendaknya memunculkan sains yang telah dikenal dalam kurikulum, dan dititikberatkan pada keterkaitan hubungan dengan teknologi, lingkungan maupun masyarakat.
-
Hendaknya diberikan materi pengajaran yang dapat menyentuh rasa kepedulian tentang keberadaan sains, teknologi, lingkungan, masyarakat sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah.
-
Pemilihan materi pengajaran hendaklah yang dapat membawa peserta didik ke arah ‘melek’ sains dan teknologi beserta penerapannya dan berbagai dampaknya positif atau negatif terhadap lingkungan, masyarakat, serta pada teknologi itu sendiri sehingga dapat lebih menumbuhkan kepedulian peserta didik dan tanggung jawab mereka pada pemecahan masalah lingkungan dan masyarakat.
-
Pembuatan bahan evaluasi hendaknya menerapkan sains, teknologi, masyarakat, lingkungan yang relevan.
BAB II
PEMBAHASAN
Mempelajari alam dan sekitarnya adalah suatu hal yang relatif mudah. Karena keberadaan alam ini adalah sesuatu yang konkrit . Kita dapat mengindera apa saja yang ada di sekitar kita, diamati, dipelajari kemudian dapat digunakan untuk kemanfaatan umat seluruhnya. Kejadian alam dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan diri manusia. Kejadian yang ada berlangsung terkait dan berkesinambungan. Suatu sistem yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya sistem yang lain. Dari setiap kejadian alam yang ada, dapat memunculkan pertanyaan – pertanyaan sebagai suatu permasalahan yang pada akhirnya dapat bermanfaat bagi manusia setelah mengalami verifikasi dan pengamatan. Oleh karena itu Pembelajaran Fisika memerlukan keterlibatan aktif para siswa.
Dari uraian di atas, maka pembelajaran tentang alam harus dapat disajikan sebagai suatu proses penemuan dan terkait dengan pengalaman peserta didik, sehingga pengetahuan yang diperoleh bersifat lama, dapat diingat, dan mampu meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir bebas. Menurut Bruner, belajar meliputi 3 proses kognitif yaitu : memperoleh informasi baru, transformasi pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Masih menurut Bruner belajar merupakan konseptualisme instrumental yang didasarkan pada 2 prinsip, yaitu : pengetahuan orang tentang alam didasarkan pada model-model mengenai kenyataan yang dibangunnya, dan model-model itu mula-mula diadopsi dari kebudayaan seseorang, dan kemudian model-model itu diadaptasikan pada kegunaan bagi orang itu.
Menurut Rosser pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi , yaitu :
Pertama, bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan para pengamat teori perilaku, Bruner yakin bahwa orang yang belajar berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tak hanya terjadi di lingkungan, tetapi juga dalam diri orang itu sendiri.
Kedua, bahwa orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya (suatu model alam = model of the world).
Konsep Belajar Bruner dikenal sebagai belajar penemuan (discovery learning), dengan penjelasan sebagai berikut :
-
Siswa berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna.
-
Siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang memungkinkan mereka memperoleh konsep baru.
Piaget menyimpulkan dari penelitiannya bahwa organisme bukanlah agen yang pasif dalam perkembangan genetik. Perubahan genetik bukan peristiwa yang menuju kelangsungan hidup suatu organisme melainkan adanya adaptasi terhadap lingkungannya dan adanya interaksi antara organisme dan lingkungannya. Dalam responnya organisme mengubah kondisi lingkungan, membangun struktur biologi tertentu yang ia perlukan untuk tetap bisa mempertahankan hidupnya.
Rendahnya hasil belajar mata pelajaran Fisika yang terukur pada nilai rata-rata ulangan umum maupun pada raport dibandingkan dengan mata pelajaran eksak lainnya seperti Biologi atau Kimia membawa keprihatinan para pendidik khususnya guru-guru Fisika. Selain itu minat yang rendah dari para siswa dalam mempelajari konsep-konsep Fisika dapat dilihat dari adanya anggapan umum siswa bahwa Fisika adalah mata pelajaran yang sarat dengan rumus, perhitungan, pemikiran, dan abstrak sehingga membosankan. Dengan kondisi pembelajaran Fisika seperti itu dan tidak adanya motivasi yang mendukung semangat belajar siswa menyebabkan ketuntasan pembelajaran relatif rendah. Selain itu hasil belajar Fisika tidak tercermin pada sikap dan perilaku siswa dalam kesehariannya. Siswa kurang memiliki cara pandang dan rasa peduli terhadap dampak positif maupun negatif dari ilmu Fisika yang memproduksi teknologi bagi masyarakat serta pengaruhnya terhadap lingkungan.
Dalam proses pembelajaran ilmu Fisika keaktifan siswa merupakan inti dari pola belajar dengan pendekatan konstruktivis, hal itu dapat tercermin dari aktifnya para siswa membaca sendiri, mengaitkan konsep-konsep baru dengan berdiskusi dan menggunakan istilah, konsep dan prinsip yang baru mereka pelajari diantara mereka. Dalam pendekatan konstruktivis siswa secara aktif membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan “apa yang diketahui siswa”. Sedangkan guru berperan sebagai narasumber yang bijak dan berpengetahuan serta berfungsi sebagai sutradara yang mengendalikan proses pembelajaran dan siap membantu siswa apabila ada kemacetan proses pembelajaran atau melantur tanpa arah. Laboratorium (lab) sebagai salah satu sarana sumber belajar merupakan salah satu alternatif proses pembelajaran Fisika dengan basis lab yang dapat menerjemahkan konsep-konsep abstrak ke dalam bentuk konkrit, mengapresiasikan permasalahan sehari-hari dalam masyarakat, teknologi dan lingkungan sekitar serta memecahkannya secara berpikir sistematis, analitis dan alternatif. Pada dasarnya mata pelajaran Fisika merupakan salah satu mata pelajaran sains yang diharapkan sebagai sarana mengembangkan kemampuan berpikir analitis deduktif dengan menggunakan berbagai konsep dan prinsip Fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam. Tujuan pembelajaran mata pelajaran Fisika SMA yang dicanangkan Depdiknas adalah agar siswa menguasai konsep dan prinsip Fisika untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap percaya diri sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Wawasan SETS (Science, Environment, Technology, Society) yang diaplikasikan ke dalam proses pembelajaran Fisika diyakini dapat dapat membawa sistem pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang dapat menerapkan pengetahuan yang diperolehnya guna meningkatkan kualitas hidup manusia tanpa harus membahayakan lingkungannya. Pembelajaran berwawasan SETS menurut Binadja pendekatan yang paling dianjurkan adalah pendekatan SETS itu sendiri. Karakteristik pendekatan SETS dalam proses pembelajaran Fisika dapat disebutkan beberapa diantaranya sebagai berikut : (1) bertujuan memberi pembelajaran Fisika secara kontekstual, (2) siswa dibawa ke situasi untuk memanfaatkan konsep Fisika ke bentuk teknologi untuk kepentingan masyarakat, (3) siswa diminta berpikir tentang berbagai kemungkinan akibat yang terjadi dalam proses pentransferan konsep Fisika ke bentuk teknologi, (4) siswa diminta untuk menjelaskan keterhubungkaitan antara unsur konsep Fisika yang diperbincangkan dengan unsur-unsur lain dalam SETS yang mempengaruhi berbagai keterkaitan antar unsur tersebut., (5) siswa dibawa untuk mempertimbangkan manfaat atau kerugian dari penggunaan konsep Fisika bila diubah dalam bentuk teknologi yang relevan, (6) siswa diajak membahas tentang SETS dari berbagai arah dan dari berbagai titik awal tergantung pengetahuan dasar yang dimiliki siswa bersangkutan.
Pendekatan SETS dalam pembelajaran Fisika dapat diterapkan pada semua konsep-konsep Fisika kecuali ada keterbatasan pada konsep Fisika teori yang memerlukan kecepatan mendekati kecepatan cahaya untuk mempraktekkannya pada teknologi, misalnya pada konsep relativitas. SMU Negeri 1 Rembang-Purbalingga, memiliki laboratorium relatif lengkap meliputi laboratorium Fisika, Kimia dan Biologi dalam ruang yang terpisah. Proses pembelajaran Fisika di SMU Negeri 1 Rembang-Purbalingga dilakukan dengan pendekatan SETS, hal itu diperlukan untuk mendapatkan pencapaian tujuan pembelajaran yang lebih baik Pendekatan SETS yang dilakukan merupakan salah satu pendekatan pembelajaran konstruktivis.
Konstruktivisme merupakan cara belajar yang menekankan peranan siswa dalam membentuk pengetahuannya sedangkan guru lebih berperan sebagai fasilitator yang membantu keaktifan siswa tersebut dalam membentuk pengetahuannya. Pengetahuan tidak dapat begitu saja dipindahkan dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (siswa). Siswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka. Tanpa pengalaman, seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman disini tidak harus pengalaman fisik, tetapi bisa diartikan juga pengalaman kognitif dan mental. Banyaknya siswa yang salah menangkap apa yang diajarkan oleh gurunya (misconseptions), menunjukkan bahwa pengetahuan itu tidak dapat begitu saja dipindahkan, melainkan harus dikonstruksikan atau paling sedikit diinterpretasikan sendiri oleh siswa.
Dalam proses kontruksi ini, diperlukan beberapa kemampuan:
-
Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalamannya
-
Kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan
-
Kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain
Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, tetapi proses yang berkembang terus menerus. Beberapa faktor seperti keterbatasan pengalaman kontruksi, struktur kognitif, dapat membatasi pembentukan pengetahuan orang.sebaliknya, situasi konflik atau anomali, akan megembangkan pengetahuan seseorang.
Selama dua puluh tahun terakhir ini, konstruktivisme telah banyak dipakai di Amerika, Eropa dan Australia. Prinsip-prinsipnya adalah:
-
pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial
-
pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk bernalar
-
siswa aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap sesuai dengan konsep ilmiah.
-
guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.
Prinsip konstruktivisme sangat berbeda dan bahkan bertentangan dengan teori belajar behaviorisme (pelajar dipandang sebagai pasif, butuh motivasi luar, dan dipengaruhi reinforcement / penguatan) dan maturasionisme (pengetahuan tergantung pada tingkat biologis seseorang, umur menjadi norma yang penting bagi perkembangan pengetahuan seseorang)
Dalam bukunya, cooperative learning in the science classroom, Linda Lundgren menyebutkan bahwa unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif sebagai berikut.
-
Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka ‘tenggelam atau berenang bersama’.
-
Para siswa memiliki tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam kelompoknya, disamping tanggung jawab terhadap diri sendiri, dalam mempelajari materi yang dihadapi.
-
Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semuanya memiliki tujuan yang sama.
-
Para siswa harus membagi tugas dan berbagai tanggung jawab sama besarnya diantara para anggota kelompok.
-
Para siswa akan diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok.
-
Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.
-
Para siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Menurut buku Kurikulum Berbasis Kompetensi pedoman pembelajaran ilmu pengetahuan alam atau sains dapat diintisarikan sebagai berikut.
-
Belajar sains membantu siswa untuk memahami diri, lingkungan, dan alam, serta mendemonstrasikan pemahamannya ketika menyelesaikan masalah. Belajar sains tidak sekedar mempelajari informasi sains berkaitan dengan fakta, konsep, prinsip, hukum dalam wujud ‘pengetahuan deklaratif’ (declarative knowledge), akan tetapi belajar sains juga belajar tentang cara memperoleh informasi, cara dan teknologi (terapan sains), bekerja dalam wujud ‘pengetahuan prosedural’ (procedural knowledge), termasuk kebiasaan bekerja ilmiah dengan menerapkan metode dan sikap ilmiah.
-
Belajar sains memfokuskan kegiatan pada penemuan informasi melalui pengalaman sendiri yang rentang kegiatannya meliputi; mengamati, mengukur, mengajukan pertanyaan, mengelompokkan, merencanakan percobaan, mengendalikan variabel, mengumpulkan dan menata data yang dikehendaki, memecahkan masalah, dan memperjelas pemahaman.
-
Belajar sains memberi kesempatan siswa mengembangkan keterampilan dan pemahaman secara kontekstual dan bermakna. Belajar sains membiasakan sejumlah sikap ilmiah seperti sikap ingin tahu, jujur, bersungguh-sungguh, mau bekerja sama, terbuka dan luwes, tekun dan peduli lingkungan.
-
Belajar sains adalah mengembangkan sejumlah kompetensi adaptif yang sesuai dengan perubahan kondisi saat ini menuju kondisi masa depan, meliputi kemampuan merencanakan dan melaksanakan percobaan, kemampuan memilah, memilih, dan menata informasi, kemampuan menyimpulkan, dan kemampuan mengkomunikasikan serta menyempurnakan temuan.
-
Belajar sains lebih bermakna dengan pengaitan sains dengan teknologi, lingkungan, dan masyarakat beserta segala aspeknya, dengan memperhatikan keseimbangan bahasan tentang unsur-unsur sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat secara berkaitan dan menyatu. Belajar sains memberi peluang terhadap pemikiran lebih mendalam tentang keterkaitan timbal balik antara sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat (salingtemas). Belajar sains mengkondisikan siswa agar mau dan mampu menerapkan prinsip sains untuk menghasilkan karya teknologi, disertai pemikiran munculnya dampak positif dan negatif yang mungkin timbul dari produk teknologi terhadap lingkungan dan masyarakat, serta isu-isu yang timbul di masyarakat sesudahnya untuk mengkaji kembali sains dan produk teknologi.
-
Belajar sains sebagai upaya membangun pemahaman dengan mempertimbangkan pengalaman dan pikiran yang sudah dimiliki siswa yang cenderung naif dan miskonsepsi.
-
Belajar sains adalah perubahan pembelajaran model ‘indoktrinasi’ menjadi pembelajaran model ‘pemberdayaan’ atau minimal model ‘pengkondisian’. Belajar sains adalah perubahan pembelajaran dengan fokus ‘guru mengajar’ menjadi pembelajaran dengan fokus ‘siswa belajar’.
-
Belajar sains bukan hanya ditujukan untuk anak pandai melainkan untuk semua siswa dengan beragam kemampuan.
-
Belajar sains adalah membantu siswa dalam mengembangkan sejumlah keterampilan ilmiah untuk memahami perilaku/gejala alam, meliputi keterampilan mengamati dengan semua indera, menggunakan alat dan bahan, merencanakan eksperimen, mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis, melakukan percobaan, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan temuan dengan bahasa yang sesuai untuk keperluan itu.
-
Belajar sains adalah mengajak siswa memikirkan berbagai sumber sains serta mengambil manfaat darinya.
-
Belajar sains bukan ditentukan oleh didaktik metodik ‘apa yang akan dipelajari’ saja, melainkan pada bagaimana menyediakan dan memperkaya pengalaman belajar siswa, berdasarkan pada pemikiran ‘mengapa’ dan untuk apa siswa perlu mempelajari sesuatu tersebut.
-
Belajar sains adalah memberdayakan siswa agar mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya (learning to do), mampu memahami pengetahuannya berkaitan dengan dunia di sekitarnya (learning to know), dapat membangun pengetahuan dan kepercayaan diri sekaligus membangun jati diri (learning to be), dan memberi kesempatan berinteraksi dengan berbagai kelompok individu yang bervariasi yang akan membentuk kepribadiannya untuk memahami kemajemukan dan melahirkan sifat-sifat positif dan toleran terhadap keanekaragaman dan perbedaan masing-masing individu (learning to live together).
-
Belajar sains adalah untuk memelihara keingintahuan anak, memotivasinya sehingga mendorong siswa untuk mengajukan keragaman pertanyaan seperti ‘apa, mengapa, dan bagaimana’ terhadap obyek dan peristiwa yang ada di alam, yang dapat ditingkatkan menjadi pertanyaan yang menanyakan hubungan ‘bagaimana jika ….’, sehingga sebagai hasil eksplorasi terhadap lingkungan, siswa diharapkan membentuk dirinya dengan sikap seorang ilmuwan cilik. Belajar sains memberi kesempatan siswa sebagai ‘young scientist’ (peneliti muda) yang mempunyai rasa keingintahuan (curiousity) yang tinggi, yang mampu mengajukan pertanyaan, menduga jawabannya, merancang penyelidikan, melakukan percobaan, mengelola dan mengolah data, mengevaluasi hasil, dan mengkomunikasikan temuannya kepada beragam orang dengan berbagai cara yang dapat memberi pemahaman yang baik.
-
Belajar sains melahirkan interaksi antara gagasan yang diyakini siswa sebelumnya dengan suatu bukti baru untuk mencapai pemahaman baru yang lebih saintifik, melalui proses eksplorasi untuk menguji serta menguji gagasan-gagasan baru, dengan melibatkan beragam sikap ilmiah seperti, menghargai gagasan orang lain, terbuka terhadap gagasan baru, berpikir kritis, jujur, kreatif, dan berpikir lateral (berpikir yang tak lazim, di luar kebiasaan, atau yang mungkin dianggap aneh).
-
Belajar sains adalah memulai pelajaran dari ‘apa yang diketahui siswa’, tidak dapat mengindoktrinasi gagasan saintifik supaya siswa mau mengganti dan memodifikasi gagasannya yang non-saintifik menjadigagasan/pengetahuan saintifik, karena arsitek peubah gagasan siswa adalah siswa itu sendiri.
-
Belajar sains adalah menyediakan ‘kondisi’ supaya proses belajar untuk memperoleh konsep yang benar dapat berlangsung dengan baik, dengan kondisi belajar antara lain : diskusi yang menyediakan kesempatan agar semua siswa mau mengungkapkan gagasan, pengujian dan penelitian sederhana, demonstrasi, dan peragaan prosedur ilmiah, dan kegiatan praktis lain yang memberi peluang siswa untuk mempertanyakan, memodifikasi, dan mempertajam gagasannya.
-
Belajar sains adalah melatih siswa sejak dini untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya agar memiliki kemampuan-kemampuan yang bermanfaat bagi kehidupan kelak khususnya setelah dewasa, meliputi : mengidentifikasi dan mengenali masalah; merencanakan penyelidikan; memilih teknik, alat dan bahan; mengorganisasi dan melaksanakan penyelidikan secara sistematik; menginterpretasikan data pengamatan; mengevaluasi prosedur kerja dan menyarankan perbaikan.
-
Belajar sains adalah berubahnya pola pembelajaran yang diawali dengan Penjelasan Uraian Materi (U) – dilanjutkan Contoh Soal ( C ) -- dan Latihan Aneka Masalah (L) menjadi diawali dengan Latihan dengan Masalah (L) – dilanjutkan Penjelasan Materi (U) – dan Contoh Soal ( C ).
-
Belajar sains adalah menyediakan kegiatan pembelajaran yang bermuatan nilai, dengan menumbuhkan sikap ilmiah antara lain sikap ingin tahu, jujur, tekun, terbuka terhadap gagasan baru, tidak percaya tahayul, sulit menerima pendapat yang tanpa disertai bukti, kebiasaan merenung secara kritis, peka terhadap makhluk hidup dan lingkungan.
Proses pembelajaran Fisika di SMA Negeri 1 Rembang-Purbalingga saat awal penulis memulai pekerjaan di SMA tersebut (tahun 1995) menjumpai kondisi para siswa yang tidak peduli terhadap lingkungan. Hal itu terindikasi dengan kenyataan-kenyataan yang ada, antara lain adalah :
Pertama, para siswa tidak peduli terhadap pohon-pohon yang ditanam, baik itu pohon peneduh maupun pohon-pohon untuk taman-taman di depan kelas, bahkan menunjukkan perilaku merusak dan sering mematikan pohon tanpa ada rasa tanggung jawab. Siswa tidak punya kegemaran menanam atau menyemaikan pohon atau bunga di taman depan kelasnya atau di lingkungan terdekatnya apalagi di tempat-tempat yang jauh dari kelasnya di lingkungan sekolah. Gejala ini pasti terbawa dan menjadi kebiasaan di lingkungan keluarga dan masyarakatnya,
Kedua, para siswa tidak peduli lingkungan kelas dan sekolah yang kotor dengan tata kehidupan yang jorok-perilaku membuang sampah sembarangan—kertas, plastik,bungkus makanan, permen, tidak dibuang pada tempatnya, termasuk kejorokan yang dijumpai di WC putri, banyak bekas pembalut dibuang sembarangan. Dinding tembok di dalam maupun di luar kelas sering menjadi sasaran kaki sehingga selalu di jumpai jejak-jejak sepatu di tembok-tembok yang menimbulkan pemandangan kotor.
Ketiga, para siswa bersikap apatis terhadap kerusakan lingkungan di dekat tempat tinggal mereka, misalnya lereng-lereng bukit yang gundul dan mudah longsor di musim penghujan dan biasanya merusak jalan. Merekapun apatis terhadap pemberitaan-tentang kerusakan lingkungan di wilayah lain, di tingkat lokal, regional, maupun nasional dan internasional. Mereka kurang memahami dan tidak mempunyai keprihatinan yang mendalam terhadap penderitaan yang menimpa bumi seperti efek rumah kaca, pemanasan global, kerusakan lapisan ozon,hujan asam dan sebagainya yang sudah menjadi masalah global.
Adapun inovasi pembelajaran untuk meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan antara lain :
Dasar-dasar teori pembelajaran yang dibahas di awal pembahasan ini diaplikasikan secara maksimal pada pembelajaran Fisika SMA Negeri Rembang di kelas I. Tindakan operasional pembelajaran secara drastis dan atraktif untuk meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan dimulai sesudah penulis mengikuti Diklat PKLH (Pelatihan Kependudukan dan Lingkungan Hidup) tahun 1998 serta lebih maksimal dan intensif setelah penulis kuliah lagi di S-2 Prodi IPA bervisi SETS di UNNES tahun 2002. Gambaran pembelajaran Fisika tersebut secara umum : Melakukan proses pembelajaran konstruktivis dengan pendekatan SETS (sains/Science—lingkungan/Environment—teknologi/Technology—masyarakat/Society), dengan menggunakan model pembelajaran Discovery-Inquiry, memakai berbagai metode yang variatif sendiri atau gabungan: seperti lab work, diskusi kelompok, problem solving, studi kepustakaan. Proses pembelajaran dilakukan secara indoor atau outdoor. Kegiatan pembelajaran para siswa selalu dilakukan berkelompok, hal itu untuk lebih mengoptimalkan pembelajaran kooperatif sesuai dengan prinsip-prinsip dasar cooperative learning. Dengan demikian pembelajaran Fisika yang dilakukan mengesampingkan pembelajaran konvensional yang berorientasi pada materi sains dengan penyajian ceramah satu arah dari guru ke siswa. Pendekatan SETS dengan lingkungan sebagai fokusnya secara kontinyu menjadi proses pembelajaran yang menumbuhkan kecintaan terhadap lingkungan sampai mendarah daging.
Sedangkan secara khusus pembelajaran yang dipandang atraktif, aktif dan kreatif adalah : Memberikan indoktrinasi kepada para siswa terutama pada jiwanya, bahwa penopang utama kehidupan manusia di bumi adalah pohon. Kekayaan dan kecukupan yang diterima manusia secara langsung maupun tidak langsung disuplai oleh pepohonan di bumi apapun jenis pohon itu. Oleh karena itu untuk mempercepat pemahaman indoktrinasi tersebut maka kegiatan pembelajaran outdoor selalu di bawah pohon secara berpindah berganti pohon pada hari yang berbeda. Setiap bagian pohon dibuat relevan dengan topik pembelajaran Fisika. Isaac Newton pun tidak akan menemukan hukum Gravitasi yang menggemparkan itu kalau Ia tidak sedang duduk-duduk di bawah pohon.
Gambar 2. Isaac Newton di bawah pohon apel
Pohon ditumbuhkan bumi—bumi menumbuhkan pohon; permasalahan lingkungan, kerusakan dan penderitaan bumi (menipisnya ozon, efek rumah kaca, dan lain-lain) dapat disembuhkan dengan menanam banyak pohon besar. Pernyataan-pernyataan tersebut diusahakan dapat menjadi pengertian yang mendalam di benak tiap-tiap siswa. Kerjasama dengan pengajar ekstra kurikuler untuk melatih kemampuan psikomotorik terhadap kecintaan kepada lingkungan di luar pembelajaran intra kurikuler Fisika selalu diadakan. Konsultasi dan konfirmasi selalu terjalin agar terjadi sinkronisasi pembelajaran ilmu alam yang menumbuhkan kepedulian terhadap lingkungan dengan menekankan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara terpadu.
Hasil pembelajaran yang diperoleh.
-
Pemikiran siswa tidak kering berisi sains dan teknologi saja, tetapi kaya dan peka akan lingkungan—masyarakat—sains—teknologi beserta kesalingterkaitannya. Hal ini berarti pembelajaran Fisika yang dilakukan dengan pendekatan SETS sekaligus mendapat hasil penguasaan kompetensi materi Fisika dan teknologinya, kecintaan terhadap lingkungan dan kontekstualitas antara sains dengan lingkungan dan masyarakat sekitar dikuasai oleh para siswa. Sehingga pembelajaran Fisika tidak lagi menjadi pembelajaran yang serba menakutkan dan hanya di angan-angan melainkan menjadi pembelajaran yang konkrit mempelajari alam.
-
Kondisi tiap jengkal tanah di lingkungan sekolah SMA Negeri Rembang Purbalingga menjadi hijau dan rimbun oleh pohon-pohon besar, taman-taman bunga, maupun sekedar rumput yang kesemuanya terawat rapi. Kecintaan para siswa terhadap tanaman tumbuh menebal dalam ukuran mayoritas jumlah siswa secara individual maupun per kelas secara kelompok. Demikian pula kedisiplinan terhadap kebersihan lingkungan kelas maupun sekolah menunjukkan gejala kenaikan yang sangat signifikan. Tidak ada lagi coretan atau jejak sepatu di pohon atau di tembok. Para siswa menyadari kebersihan awal dari kehidupan yang sehat. Mereka mempunyai slogan tentang kebersihan yaitu “Kebersihan dimulai dari lantai yang bersih”. Slogan ini penulis ajarkan dengan mengambil slogan para mekanik di bengkel AHASS Siliwangi Semarang yang penulis baca pada tahun 1996.
-
Kepekaan terhadap masalah kerusakan lingkungan ; tanah—air—maupun udara menjadi topik pembicaraan yang biasa diperbincangkan di kalangan para siswa. Diskusi tentang hal itu secara intens dilakukan pada pembelajaran Fisika dengan pendekatan SETS. Kotak amal korban bencana alam tiap hari Jum’at diedarkan oleh OSIS. Maraknya aksi kelompok-kelompok ekstra kurikuler siswa seperti wira (PMR), Expo (tanah dan pohon), pramuka, dan lain-lain, terjun langsung secara berkala ke masyarakat untuk karya nyata dan studi lapangan. Sebagai contoh ; kelompok wira memantau perairan Sungai Gintung di dekat sekolah terhadap tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungannya, kelompok Expo memantau bukit-bukit di sekitar sekolah terhadap kegersangan dan penghijauannya dan tak lupa menghijaukan setiap jengkal tanah di wilayah dalam sekolah dan berhasil membuat perkebunan salak di belakang sekolah, kelompok pramuka selalu mengadakan konsolidasi dengan masyarakat dalam Kemah Bakti dan tak lupa menekankan pentingnya penghijauan, kelompok perguruan silat mengadakan aksi nyata kelestarian hutan (alas) dalam kesempatan berlatihnya di hutan (alas) tanpa merusak pepohonan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan yang dapat ditarik dalam makalah ini antara lain adalah :
-
Pendidikan SETS berupaya memberikan pemahaman tentang peranan lingkungan terhadap sains, teknologi, masyarakat. Sebaliknya peranan masyarakat terhadap arah perkembangan sains, teknologi dan keadaan lingkungan. Termasuk juga peranan teknologi dalam penyesuaiannya dengan sains, manfaatnya terhadap masyarakat dan dampak-dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan. Tidak ketinggalan peranan sains untuk melahirkan konsep-konsep yang berdaya guna positif, keterlibatannya pada teknologi yang dipakai maupun pengaruhnya terhadap masyarakat dan lingkungan secara timbal balik.
-
Wawasan SETS (Science, Environment, Technology, Society) yang diaplikasikan ke dalam proses pembelajaran Fisika diyakini dapat dapat membawa sistem pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang dapat menerapkan pengetahuan yang diperolehnya guna meningkatkan kualitas hidup manusia tanpa harus membahayakan lingkungannya.
-
Proses pembelajaran Fisika di SMA dengan pembelajaran konstruktivis menggunakan pendekatan SETS (sains/Science—lingkungan/Environment—teknologi/Technology—masyarakat/Society), dengan menggunakan model pembelajaran Discovery-Inquiry, memakai berbagai metode yang variatif sendiri atau gabungan: seperti lab work, diskusi kelompok, problem solving, studi kepustakaan. Proses pembelajaran dilakukan secara indoor atau outdoor. Kegiatan pembelajaran para siswa selalu dilakukan berkelompok, hal itu untuk lebih mengoptimalkan pembelajaran kooperatif sesuai dengan prinsip-prinsip dasar cooperative learning. Dengan demikian pembelajaran Fisika yang dilakukan mengesampingkan pembelajaran konvensional yang berorientasi pada materi sains dengan penyajian ceramah satu arah dari guru ke siswa. Pendekatan SETS dengan lingkungan sebagai fokusnya secara kontinyu menjadi proses pembelajaran yang menumbuhkan kecintaan terhadap lingkungan sampai mendarah daging.
-
Sedangkan secara khusus pembelajaran yang dipandang atraktif, aktif dan kreatif adalah : Memberikan indoktrinasi kepada para siswa terutama pada jiwanya, bahwa penopang utama kehidupan manusia di bumi adalah pohon. Kekayaan dan kecukupan yang diterima manusia secara langsung maupun tidak langsung disuplai oleh pepohonan di bumi apapun jenis pohon itu.
Drs. Pristiadi Utomo
“DISCOVERY – INQUIRY” DALAM PEMBELAJARAN FISIKA
Tinjauan Ilmiah
Bidang Pendidikan Sebagai
Pengembangan Pembelajaran Fisika
2004
MAKALAH
DISCOVERI – INQUIRI DALAM
PEMBELAJARAN FISIKA
BAB I
PENDAHULUAN
Selama bertahun-tahun metode mengajar IPA / Fisika di sekolah dasar dan sekolah menengah bahkan juga di perguruan tinggi ialah metode mengajar secara informatif, yaitu guru berbicara atau bercerita dan siswa mendengarkan dan mencatat. Secara tradisional, pengajaran IPA / Fisika ditekan pada penghafalan rumus-rumus, konsep-konsep atau bentuk-bentuk problem tertentu. Pengajaran IPA lebih ditekankan pada produk dari pada proses-proses IPA.
Perubahan adalah ciri khas pendidikan IPA. Hal ini mudah dapat difahami. Karena kebutuhan manusia selalu berubah dan berkembang dan problem ilmiah selalu meningkat, maka salah satu tugas sekolah ialah berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini dengan jalan melatih atau mendidik sisiwa agar supaya nanti dapat melaksanaan tugas-tugas di masyarakat yang selalu mengalami proses perubahan dan perkembangan. Yang dimaksud dengan kebutuhan ialah kebutuhan siswa atau masyarakat sesuai dengan keadaan sistem ekologi/ lingkungan, ekonomi-sosial dan budaya, dan kebutuhan sebagai akibat perkembangan IPA dan teknologi dan pembangunan. Berdasarkan situasi dan kondisi inilah maka sejak berapa tahun berakhir hingga saat ini pendidikan IPA di sekolah dasar, Fisika di sekolah menengah dan perguruan tinggi, telah dan terus-menerus distudi dengan tujuan untuk memperbaharui / memperbaiki materi pelajaran dan cara-cara penyampaian yang disesuaikan dengan teori belajar mengajar yang mutakhir.
Sejak beberapa tahun terakhir hingga saat ini, Departemen Pendidikan (pemerintah RI) telah dan terus berusaha membiayai program-program pengembangan pendidikan. Berjuta-juta rupiah, bahkan mungkin bermiliar-miliar rupiah telah habis digunakan untuk menciptakan dan mengembangkan kurikulum IPA, matematika, ilmu sosial, bahasa, dan sebagainya.
Salah satu program untuk mengembangkan metode mengajar yang modern (sebenarnya tidak baru) di sekolah dasar dan sekolah menengah selama beberapa tahun terakhir ini telah menekankan pada keterlibatan siswa dalam proses belajar yang aktif melalui kegiatan-kegiatan yang berorientasikan pada “discovery” dan / atau “inquiry”
Dasar filsafat ini ialah siswa akan dimotivasi lebih baik apabila Ia terlibat secara langsung dalam proses belajar melalaui kegiatan-kegiatan “discovery” dan / atau ”inquiry”. Apakah yang dimaksud dengan “discovery” dan / atau “inquiry” ? Banyak para ahli pendidikan dan guru menggunakan istilah ini secara bergantian sedangkan lainnya lebih suka membedakan artinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Carin ( 1985 ) menyatakan bahwa “ discovery” adalah suatau proses mental dimana anak atau individu mengasimilasi konsep dan prinsip-prinsip.
Dengan kata lain, “discovery” terjadi apabila siswa terutama terlibat dalam menggunakan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip. Misalnya, siswa mungkin menemukan “apa atom itu”, yaitu Ia membuat suatu konsep tentang atom, atau kemudian Ia mungkin menemukan suatu prinsip ilmiah : “ atom tidak dapat dibagi lagi “.
Suatu kegiatan “discovery” ialah suatu kegiatan atau pelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri.
Di bawah ini contoh beberapa konsep dan prinsip.
Konsep :
Kecepatan Zat
Panas Gaya
Energi Reaksi, dan sebagainya.
Prinsip :
Logam bila dipanasi memuai.
Energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan.
Bagi seorang siswa untuk membuat penemuan-penemuan, Ia harus melakukan proses-proses mental, misalnya mengamati, mengolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, menarik kesimpulan dan sebagainya. Pengajaran “discovery” harus meliputi pengalaman-pengalaman belajar untuk menjamin siswa dapat mengembangkan proses-proses “discovery”.
”Inquiry” dibentuk dan meliputi ”discovery”, karena siswa harus menggunakan kemampuan “discovery” dan lebih banyak lagi dengan kata lain,”inquiry” adalah suatu perluasan proses-proses “discovery” yang digunakan dalam cara yang lebih dewasa. Sebagai tambahan pada proses-proses “discovery”,” ínquiry” mengandung proses-proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya merumuskan problem, merancang eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, menarik kesimpulan, mempunyai sikap-sikap obyektif, jujur, hasrat ingin tahu, terbuka dan sebagainya.
Pengajaran ” inquiry “ harus meliputi pengalaman-pengalaman belajar untuk menjamin bahwa siswa dapat mengembangkan proses “ inquiry “.
Carin (1985) menekankan pengajaran “discovery” dengan batas-batas tertentu untuk siswa sekolah dasar kelas yang lebih rendah, kemudian mengenalkan “inquiry” kepada siswa yang lebih atas kelasnya yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektualnya.
Siswa kelas 4 Sekolah Dasar mungkin mengamati es mencair dan menemukan bahwa es sangat sensitif terhadap panas. Bagi siswa kelas 6 atau siswa Sekolah Menengah Pertama dapat diberi tugas untuk memilih dan menyelidiki suatu perubahan wujud dan membuat laporan eksperimen yang telah dikerjakan. Apabila ia merumuskan problemnya sendiri, merancang eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, dan menarik kesimpulan, maka dapat dinyatakan bahwa ia sedang melakukan kegiatan “inquiri”.
Dari analisis singkat tentang “discovery” dan/atau “inquiry” ini, jelaslah bagi siswa taman kanak-kanak dan sekolah dasar kelas lebih bawah harus disediakan kegiatan belajar IPA yang terutama berorentasikan pada proses-proses “dicovery”. Tetapi bagi siswa sekolah dasar kelas lebih atas dan sekolah menengah, harus diciptakan kegiatan-kegiatan belajar yang berorentasikan pada proses-proses’inquiry”. Lebih lanjut, analisis ”dicovery” dan”inquiry” di atas menunjukkan hakekat proses berpikir secara hirarki yang digunakan oleh para ilmuwan.
Ilmuwan yang sejati memiliki pengalaman yang sangat luas. Ia mengetahui beratus-ratus prosedur untuk merancang eksperimen-eksperimen dan untuk memperkecil kesalahan-kesalahan eksperimen. Ia telah mengasimilasi sikap-sikap khusus yang meyakinkan mana yang benar dan mana yang tidak benar dari penelitian-penelitian yang ia lakukan. Untuk menjadi “problem solver” yang baik, bersikap dan berpikir sebagai ilmuwan, atau menjadi ilmuwan yang profesional memerlukan waktu bertahun-tahun. Guru mempunyai tanggung jawab dan peranan yang besar sekali dalam melicinkan proses perkembangan ini.
Jelaslah, bahwa siswa dapat berkembang kemampuan berpikir “discovery-inquiry”nya, hanya apabila ia terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menuntut pelaksanaan tugas-tugas mental tersebut di atas. Karena siswa sesungguhnya tidak pernah menguasainya setiap tugas mental dengan sempurna, maka ada suatu tingkatan dimana siswa itu menjadi ahli dalam mempelajari tentang bagaimana “to discovery” dan/ ‘to inquiry’. Bahkan, ilmuwan yang menerima hadiah nobel, pengarang, pelukis, ahli matematika, ahli ilmu sosial, ahli ekonomi dan sebagainya masih dalam keadaan bergerak menuju ke pengembangan keterampilan-keterampilan ‘discovery”dan/atau ‘inquiry” ini. Tugas suatu sistem sekolah ialah membentuk kurikulum sedemikian rupa sehingga siswa dapat memanifestasikan kemampuan-kemampuan “discovery” dan/atau”inquiry”nya.
Proses belajar mengajar melalui “discovery-inquiry learning and teaching” selalu melibatkan siswa dalam kegiatan bertukar pendapat melalui diskusi, seminar, dan sebagainya. Beberapa keuntungan mengajar dengan menggunakan metode “discovery-inquiry” antara lain sebagai berikut.
1. Jerome Bruner, seorang profesor psikologi dari Harvard University di Amerika serikat menyetakan beberapa keuntungan metode discovery (penemuan) sebagai berikut .
-
Siswa akan memahami konsep-konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
-
Membantu dalam menggunakan daya ingat dan transfer pada situasi-situasi proses belajar yang baru.
-
Mendorong siswa untuk berpikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri.
-
Mendorong siswa untuk berpikir inisiatif dan merumuskan hipotesis sendiri. Di dalam proses belajar melalui “discovery-inquiry”, tugas kegiatannya dibuat “open-ended” sehingga siswa menjadi bebas untuk mengembangkan hipotesis-hipotesisnya sendiri.
-
Memberikan kepuasan yang bersifat intrinsik.
-
Situasi proses belajar menjadi lebih merangsang.
-
Pengajaran menjadi “student-centered”.
Salah satu prinsip psikologi tentang belajar menyatakan bahwa makin besar keterlibatan siswa dalam kegiatan, maka makin besar baginya untuk mengalami proses belajar. Biasanya bila guru berpikir tentang pembelajaran Fisika, Ia menganggap bahwa siswa sedang mengasimilasi beberapa informasi. Proses belajar meliputi semua aspek yang menunjang siswa menuju ke pembentukan manusia seutuhnya (“a fully function person”). Misalnya, di dalam situasi proses inquiry, siswa tidak hanya belajar tentang konsep-konsep dan prinsip-prinsip, tetapi Ia juga mengalami proses belajar tentang pengarahan diri sendiri, tanggung jawab, komunikasi sosial dan sebagainya. Sebaliknya, banyak kesempatan untuk pengembangan bakat-bakat di atas bagi siswa sangat terhalang di dalam pengajaran yang berdasarkan pada “teacher centered”. Apabila dipandang pengajaran sebagai cara untuk memungkinkan siswa dapat menjadi manusia yang utuh, maka sukarlah untuk mempertahankan situasi lingkungan proses belajar yang berdasarkan pada “teacher centered”.
-
Proses belajar melalui kegiatan “inquiry” dapat membentuk dan mengembangkan konsep diri.
Apabila kita mempunyai konsep diri yang baik, maka secara psikologis diri kita akan merasa aman, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, berkeinginan untuk selalu mengambil dan mengeksplorasi kesempatan-kesempatan yang ada, lebih kreatif, dan umumnya memiliki mental yang sehat.
Salah satu tugas dalam pembentukan siswa yang baik adalah pembentukan konsep diri. Kita dapat melakukan hal ini dengan jalan melibatkan diri dalam proses “discovery-inquiry’, karena melalui keterlibatan yang aktif, kita dapat memanifestasikan potensi kita dan memperoleh pengertian tentang “diri”. Mengajar dengan menggunakan metode “discovery-inquiry” memberikan kesempatan bagi siswa dalam keterlibatan yang lebih besar, yaitu memberikan lebih banyak kesempatan bagi siswa untuk memperoleh kesadaran dan mengembangkan konsep dirinya lebih baik.
-
Tingkat pengharapan bertambah.
Bagian dari konsep diri siswa ialah tingkat pengharapannya, yaitu siswa mempunyai ide tertentu tentang bagaimana ia dapat menyelesaikan suatu tugas dengan caranya sendiri. Sayangnya, banyak siswa yang telah mendapatkan tingkat pengharapan yang rendah. Mereka merasa, misalnya ; “Saya tidak dapat mengerjakan soal-soal mekanika”, “Saya tidak pernah mendapatkan hasil yang baik dalam pelajaran Fisika”. Sebenarnya melalui kegiatan “discovery-inquiry”, siswa mungkin dapat memperoleh pengalaman yang sukses dalam menggunakan bakat-bakatnya untuk menyelidiki atau memecahkan problem-problem Fisika. Misalnya, “Saya dapat memecahkan problem Mekanika dengan cara saya sendiri tanpa pertolongan orang lain”.
-
“Inquiry Learning” dapat mengembangkan bakat kemampuan individu.
Individu memiliki suatu kumpulan lebih dari 120 bakat. Bakat akademik hanya berhubungan dengan beberapa saja. Lebih banyak kebebasan (fleksibel) dalam proses pembelajan Fisika bagi siswa, berarti makin besar kemungkinan baginya untuk dapat mengembangkan bakat-bakat lainnya. Bila siswa bekerja sama memecahkan atau menyelidiki beberapa problem, maka mereka mungkin terlibat dalam pengembangan bakat-bakat lainnya, misalnya merencanakan, mengorganisasim komunikasi sosial, kreativitas, dan akademik.
-
“Inquiry Learning” dapat menghindarkan siswa dari cara-cara belajar tradisionil (menghafal).
-
“Inquiry Learning” memberikan waktu bagi siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi informasi.
Seringkali guru tidak memberikan waktu cukup kepada siswa untuk berpikir dalam hubungannya dengan proses pembelajaran Fisika. Siswa memerlukan waktu dalam menggunakan daya otaknya untuk berpikir dan memperoleh pengertian tentang konsep, prinsip dan teknik-teknik memecahkan suatu problem. Dr Jean Piaget percaya bahwa ‘tidak akan terjadi proses belajar yang sejati (murni) apabila siswa tidak asimilasi serta mengakomodasi segala sesuatu yang ia jumpai di lingkungannya”. Apabila hal ini tidak terjadi, maka guru dan siswa hanya terlibat dalam “pseudo-learning”, yaitu berupa hafalan atau ingatan yang segera musnah menjadi kelupaan yang tak bermakna. Oleh karena itu, guru harus menyadari dan cukup menjamin bahwa siswa memperoleh keberhasilan di kelak kemudian untuk memahami implikasi-implikasi penting studinya.
-
Apabila siswa belum pernah mempunyai pengalaman belajar melalui kegiatan “discovery-inquiry”, maka pada permulaan kegiatan belajar mungkin ia memerlukan struktur yang cukup luas dalam pelajaran-pelajarannya.
Setelah siswa memperoleh beberapa pengalaman tentang bagaimana melakukan suatu penyelidikan, ia akan dapat melakukan tugas-tugas dengan bentuk-bentuk pelajaran yang strukturnya tidak begitu luas. Dalam hal ini, istilah umum “sifat menyelidiki” digunakan baik untuk pendekatan pembelajaran Fisika dengan menggunakan metode “discovery-inquiry” maupun “inquiry”.
BAB III
PENUTUP
Proses pembelajaran IPA di Sekolah Dasar dan Fisika di Sekolah Menengah dan perguruan tinggi yang menggunakan “discovery-inquiry” dapat lebih mengembangkan “sifat menyelidiki” pada diri siswa. Di lain pihak pembelajaran menggunakan “discovery-inquiry” akan menciptakan pembelajaran yang student centered bukan lagi teacher centered. Bila yang terjadi sebaliknya, maka guru dan siswa hanya terlibat dalam “pseudo-learning”, yaitu berupa hafalan atau ingatan yang segera musnah menjadi kelupaan yang tak bermakna.
Dengan demikian harapan mewujudkan siswa menjadi manusia seutuhnya (“a fully function person”) akan mendapat peluang yang besar mewujudkannya bila proses pembelajaran Fisika menggunakan pendekatan yang konstruktif semisal “discovery-inquiry” itu. Hal itu memerlukan kesadaran dan kemauan yang tinggi dari setiap guru-guru IPA atau guru Fisika.